Demokrasi sepenuhnya bertentangan dengan islam, baik secara global maupun partikular (rinci). Kontradiksi tersebut tercemin dalam beberapa aspek, yaitu :
a. Demokrasi memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat semua perkara dalam kehidupan. Jadi, manusia adalah rujukan utama dalam segala hal. Sesuai dengan prinsip-prisnip demokrasi, rakyat adalah sumber kekuasaan : rakyat adalah sumber kekuasaan pemerintahan. Rakyatlah yang menyusun undang-undang, mengangkat para penguasa dan melaksanakan pemerintahan. Hal ini sepenuhnya bertentangan dengan Islam. Alasannya, karena Islam menyerahkan kedaulatan kepada syariah, bukan kepada rakyat. Dalam Islam, syariah merupakan rujukan bagi segala perkara dan satu-satunya rujukan utama. Dalam hal kekuasaan, Islam menyerahkan kekuasaan penyusunan perundang-undangan kepada Allah SWT, bukan kepada manusia. Allah sajalah yang menyusun segala aturan dan hukum dalam masalah peribadatan, muamalah, hukum pidana dan sebagainya. Tidak seorang pun boleh menyusun perundang-undangan, meski hanya satu aturan saja. Dalam Islam rakyat hanya berwenang untuk menjalankan kekuasaan. Rakyatlah yang memilih dan mengangkat pemimpinnya. Jadi, rakyat hanya menjadi sumber kekuasaan eksekutif (pelaksana) semata. Merekalah yang memilih dan mengangkat seseorang untuk memegang kekuasaan dan menjalankan pemerintahan. Dalam kekuasaan kehakiman, Khalifah atau yang mewakilinya memegang kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum Allah SWT. Khalifah mengangkat hakim-hakim. Tidak seorang pun rakyat, baik secara invidu atau berkelompok, berhak mengangkat seorang hakim. Wewenang ini hanya dimiliki oleh Khalifah atau orang yang dtunjuk oleh Khalifah.
b. Kepemimpinan dalam sistem demokrasi bersifat kolektif, tidak individual. Kekuasan juga dipegang secara kolektif, tidak secara individual. Dalam demokrasi (parlementer), kekuasaan dijalakan oleh suatu dewan menteri yang disebut kabinet. Kepala negara, baik seorang presiden maupun raja, merupakan figur yang berkuasa namun tidak berhak memerintah. Yang memerintah dan memegang kekuasaan adalah kabinet. Sistem ini bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam Islam, kepemimpinan adalah milik satu orang, tidak bersifat kolektif. Kekuasaan juga dipegang oleh satu orang dan tidak secara kolektif. Abu Said Al- Khudri menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang artinya) : Apabila tiga orang melakukan perjalanan, mereka harus mengangkat satu orang di antara mereka sebagai Amir (Pemimpin). (HR. Abu Dawud).
Abdullah bin Umar juga meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda (yang artinya) : Tidak boleh tiga orang dimana pun berada di muka bumi tanpa mengangkat salah seorang sebagai Amir di antara mereka. (HR. Ahmad).
Kata Ahad (seseorang merujuk pada suatu bilangan, yaitu satu dan tidak lebih. Hal ini disimpulkan dari mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari kata ahaduhum (seseorang di antara mereka). Dalam masalah ini pemahaman kebalikan dapat diterapkan dan penunjukannya sesuai dengan penunjukan dalam teks dalil tersebut. Pemahaman kebalikan tidak dapat digunakan jika pemahaman tersebut terhapus oleh dalil-dalil yang lain. Dalam pemahaman kebalikan terhadap kedua hadist di atas, pemahaman itu tidak terhapus oleh dalil lain sehingga pemahaman kebalikan itu dapat dipakai. Dengan demikian, hadist tersebut bermakna, “mereka harus mengangkat seorang Amir,”dan tidak boleh lebih”, serta “kecuali mengangkat seorang Amir dan tidak boleh lebih”. Dengan demikian, mafhum mukhalfah kedua hadist tersebut bermakna bahwa haram menyerahkan imarah (kekuasaan Pemerintahan) kepada lebih dari satu orang. Pemahaman ini didukung oleh aktivitas Rasulullah saw. yang selalu menunjuk seorang Amir pada setiap kejadian. Beliau tidak pernah mengangkat lebih dari seorang Amir pada suatu wilayah. Adapun kekuasaan pemerintahan dijabat oleh seorang kepala negara-yang disebut Amirul Mukminin─atau Khalifah yang mendapat amanat kekuasaan dari seluruh umat. Khalifah adalah seorang yang memiliki wewenang penuh atas kekuasaan dan pemerintahan; tidak seorang pun berbagi kekuasaan dengannya. Dengan demikian, kepemimpinan dan kekuasaan dalam Islam dipegang secara invidual.
c. Negara dengan sistem pemerintahan demokrasi terdiri dari sejumlah lembaga, bukan satu lembaga. Pemerintah merupakan satu lembaga yang menjalankan kekuasaan eksekutif (pelaksana). Adapun lembaga-lembaga yang lain merupakan lembaga independent yang memiliki kewenangan memerintah dan kekuasaan pada bidangnya sesuai dengan ketentuan yang ada. Sebagai misal, asosiasi pengacara untuk berpraktik, skorsing dan penuntutan kepada mereka, serta masalah-masalah lain yang berhubungan dengan dunia kepengacaraan. Demikian pula lembaga-lembaga lain seperti ikatan dokter, asosiasi ahli farmasi, perhimpunan insyinyur sipil dan sebagainya. Lembaga-lembaga tersebut mempunyai wewenang dalam bidang masing-masing sama dengan wewenang yang dimiliki negara. Negara sendiri tidak memiliki wewenang yang dimiliki negara. Negara sendiri tidak memiliki wewenang dalam bidang-bidang tertentu sebagaimana yang dimiliki lembaga-lembaga tersebut. Hal ini bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, negara dan pemerintah merupakan lembaga tunggal yang memegang kekuasaan. Khalifah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memiliki wewenang penuh, sementara orang lain sama sekali tidak memiliki wewenang. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya) : Imam adalah seorang pengembala dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kata huwa (dia) dalam tata bahasa Arab sarana untuk memberikan pembatasan sekaligus merupakan kata ganti yang berdiri sendiri. Jadi, kalimat yang berbunyi wa huwa mas’ul [un] (ia bertanggung jawab) menujukkan pembatasan tanggung jawab itu hanya kepada Imam. Dengan demikian, tidak ada seorang pun di dalam negara, baik individu mapun kelompok yang kekuasaan dan wewenang selain Khalifah.
d. Dalam sistem Demokrasi, meminta pendapat rakyat mengenai masalah pemerintahan dipandang sebagai suatu kewajiban. Penguasa harus meminta pendapat rakyat atau lembaga perwakilan rakyat; ia tidak boleh melakukan aktivitas kecuali jika rakyat mendelegasikannya. Ia juga tidak boleh menentang keinginan dan pendapat rakyat. Jadi, meminta pendapat rakyat merupakan suatu kewajiban Penguasa dalam Negara Demokrasi. Hal ini bertentangan dengan Islam, Karena Islam menganggap upaya meminta pendapat umat, atau yang disebut syura (musyawarah), hanya bersifat mandub (sunnah), bukan wajib. Dengan Demikian, Khalifah disunahkan meminta pendapat umat dan tidak diwajibkan untuk itu. Sebab, sekalipun Allah SWT memuji syura, Dia hanya membatasinya hanya pada perkara-perkara mubah ini menjadi qarinah (petunjuk) bahwa syura hanya merupakan perbuatan yang mandub bagi Khalifah untuk bermusyawarah dengan umat, karena Allah SWT telah memuji syura namun membatasinya hanya pada perkara-perkara mubah.
e. Dalam Sistem Demokrasi, pemerintah terikat dengan suara mayoritas rakyat dalam setiap masalah, dalam perundang-undangan atau perkara lainnya. Pada beberapa kasus mereka menetapkan suara mayoritas jika melebihi 51% suara; pada kasus-kasus lain mereka menetapkan suara mayoritas jika melebihi 2/3 suara. Hal ini bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, pendapat mayoritas tidak selalu mengikat. Penjelasan adalah sebagai berikut: pertama hukum-hukum syariah tidak bergantung pada suara mayoritas maupun minoritas. Namun, setiap orang wajib menyerahkan semuanya pada hukum syariah. Dalil yang menjadi dasar alasan ini adalah kenyataan bahwa Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw. mengambil wahyu yang diturunkan Allah SWT. Kepada Beliau; Beliau mengesampingkan pendapat Abu Bakar dan Umar. Beliau bahkan mengesampingkan pendapat seluruh kaum muslim, menolak pendapat mereka sekaligus memaksa mereka untuk patuh pada keputusan beliau serta mengabaikan kemarahan dan penolakan mereka. Beliau bersabda kepada mereka (yang artinya): Aku hanyalah hamba Allah dan aku tidak akan melanggar perintah-Nya.
Hal ini membuktikan bahwa yang dominan di mata Rasulullah bukanlah pendapat meyoritas maupun minoritas, namun apa yang telah ditetapkan melalui wahyu, yaitu dalil-dalil syariah. Jika terdapat sejumlah dalil maka dalil terkuatlah yang diikuti. Jadi, hukum yang diambil dan dijadikan panutan adalah dalil yang terkuat. Namun demikian, yang berhak mewajibkan umat mangambil salah satu dalil dan menjadikannya sebagai undang-undang adalah Khalifah, karena hanya dia yang memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum syariah. Demikian pula yang ditunjukkan oleh Ijmak Sahabat, yang menjelaskan bahwa Imam memiliki hak untuk mengambil hukum-hukum tertentu dan memerintahkan penerapannya. Kaum Muslim wajib mematuhinya dan mengesampingkan pendapatnya sendiri. Prinsip-prinsip syariah menetapkan :
Perintah Imam harus dilaksanakan secara lahir dan batin.
Perintah Imam menghilangkan perbedaan.
Sultan mempunyai hak untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan permasalahan baru yang muncul.
Yang diterapkan pada hukum-hukum syariah juga diterapkan pada definisi-definisi syariah, yakni faktor yang dominan adalah kekuatan dalil dan hanya Khalifah semata yang memiliki hak untuk mengadopsinya. Dengan demikian, pendapat Khalifahlah yang diunggulkan dan mengikat. Suatu pendapat yang menyatakan suatu pemikiran mengenai suatu masalah tertentu akan menghasilkan satu atau lebih aktivitas. Aktivitas-aktivitas tersebut akan dipelajari berdasarkan pokok permasalahannya. Dengan kata lain, terhadap pendapat yang berkaitan dengan sejumlah aktivitas yang harus diambil, diperlukan suatu pemahaman dan pengkajian terhadap pokok permasalahnnya. Dengan pemahaman dan pengkajian tersebut maka dapat ditentukan suatu keputusan untuk melakukan atau meninggalkannya atau cara melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Artinya, jika berhubungan dengan masalah pendapat, perang dan siasat maka harus didasarkan pada kebenarannya, bukan pada pendapat yang didukung secara mayoritas. Contoh : bagaimana cara mengupayakan kebangkitan umat, apakah dengan meningkatkan pemikirannya atau meningkatkan ekonominya (kesejahteraan)-nya? Perang melawan orang murtad pada masa kekhalifahan Abu Bakar ra., apakah dianggap sebagai penolakan hukum syariah (perkara zakat) atau semata-mata pemberotakan bersenjata? Solusi yang ditempuh oleh Ali ra. dalam menangani wali-walinya ketika ia menjabat sebagai Khalifah, apakah dengan mempertahankan, memberhentikannya, atau mempertahankan sebagian dan memberhentikan lainnya? Solusi Ali dalam menangani masalah Muawiyyah, haruskah dia segera memberhentian Muawiyah sebagai Gubernur (wali) Syam, atau mempertahankannya sampai Ali berhasil mengokohkan kekuasaannya ke seluruh wilayah dalam Islam? Masalah mengangkat Al-Qur’an kepada Ali ra, (tahkim), apakah benar-benar menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan atau semata-mata hanya siasat? Daulah Utsmaniyah akan membangun rel kerete api dari Istanbul sampai ke Baghdad, apakah proyek ini akan diberikan kepada kontraktor Jerman atau kotraktor Belgia? Upaya Inggris bergabung dengan Masyarakat Eropa pada tahun 1962, perlukah Inggis bergabung dengan Organisasi itu? Dengan kata lain, apakah dengan bergabung ke Organisasi itu Inggris dapat mempertahankan posisinya di mata Internasional dan pengaruhnya atas seluruh Eropa atau hanya akan menimbulkan kerugian ekonomi dan Politik? Pembangunan di Mesir, apakah dengan cara membangun danau? Program persenjataan nuklir Turki, apakah diupayakan dengan sumber daya dan dana dari dalam negeri atau diserahkan kepada Investor asing? Daulah Utsmaniyah berusaha meningkatkan pendidikan, apakah dengan jalan memperbanyak sekolah dan universitas atau dengan memperbaiki kurikulum pendidikan?
Dalam menentukan setiap kebijakan yang membutuhkan pemahaman dan pengkajian, ketepatan dan kelayakan (fit and proper) harus menjadi pertimbangan utama, bukan pendapat mayoritas. Dalil mengenai masalah ini dapat dipahami dari aktivis Rasulullah saw. ketika bersama-sama kaum Muslim berkemah di dekat sumber air Badar. Hubab bin Mundzir tidak setuju dengan tempat itu. Dia dikenal sebagai ahli peperangan dan sangat mengenal tempat itu dengan baik. Dia bertanya kepada Rasulullah, “ Apakah ini tempat yang ditujukkan Allah SWT untuk engkau duduki sehingga kita tidak boleh membantah maupun berpindah dari sini atau hanya sekadar pendapat dan taktik peperangan?” Rasulullah menjawab, “ini hanya masalah pendapat peperangan dan siasat.” Kemudian Hubab berkata, “kalau begitu, ini bukanlah tempat yang tepat untuk berhenti, “ kemudian ia menunjuk tempat lain yang menurut pendapatnya lebih tepat. Segera Rasulullah dan kaum Muslim pun berdiri dan berpindah ke tempat yang ditunjuk. Dalam Hadis ini Rasulullah saw. mengabaikan pendapat Beliau sendiri maupun pendapat yang lebih tepat dan layak; Beliau merasa puas hanya dengan pendapat satu orang dalam perkara-perkara yang disebut Rasulullah sebagai masalah “ pendapat, peperangan dan siasat” itu. Rasulullah saw. menerapkan pendapat ini atas seluruh kaum Muslim karena Beliau menganggap pendapat tersebut merupakan pendapat yang paling tepat dan paling layak. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal pendapat-pendapat yang terkait dengan masalah “pendapat, perang dan siasat”, ketepatan dan kelayakan harus menjadi pertimbangan utama, bukan pendapat mayoritas. Khalifahlah yang memutuskan pendapat yang dianggapnya paling tepat dan paling layak, mengingat bahwa yang memutuskan pendapat terbaik dalam perang Badar adalah Rasulullah saw. dalam kedudukannya sebagai kepala Negara, bukan sebagai utusan Allah SWT.
Termasuk dalam pendapat yang membutuhkan pemahaman dan pengkajian adalah pendapat mengenai masalah-masalah teknis. Masalah-masalah teknis adalah masalah-masalah yang membutuhkan pemahaman, pengkajian dan keahlian dari orang-orang yang ahli dalam bidang terssebut. Dalam riwayat perang Badar di atas, pendapat Hubab Ibn Munzdir dapat diterima karena pendapat tersebut berhubungan dengan masalah teknis peperangan, sementara Hubab dikenal sebagai ahli peperangan dan sangat mengenal daerah Badr itu. Mirip dengan masalah-masalah tersebut adalah masalah penentuan definisi-definisi non-syariah (teknis dan sains) yang membutuhkan pemikiran dan pengakjian.
Terhadap pendapat-pendapat yang berhubungan dengan aktivitas yang tidak membutuhkan pemahaman dan pengakajian oleh para ahli, pertimbangan utama diberikan kepada pendapat mayoritas dan pendapat ini bersifat mengikat. Contoh : pemilihan Khalifah, anatara milih si A atau si B; saat mengangkat seorang penengah, mengangkat si C atau si D; atatu saat memilih proyek pembangunan, membangun sekolah atau rumah sakit; atau ketika hendak memberikan bantuan kepada Petani, berupa bantuan dana atau bantuan alat pertanian, pupuk dan bibit; dan sebagainya. Dengan demikian, bagi setiap aktivitas yang tidak memerlukan pemahaman dan pengkajian para ahli atau para teknisi maka keputusan diserahkan kepada pendapat mayoritas. Dalam hal ini, Khilafah dan Khalifah terikat dengan keputusan tersebut. Dalam suatu hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menerima pendapat mayoritas kaum Muslim pada saat perang Uhud untuk keluar dari Madinah, sekalipun beliau menganggap ini keliru dan bukan merupakan pendapat yang terbaik. Demikian pula para sahabat senior yang mempunyai pendapat berbeda dengan pendapat mayoritas kaum Muslim. Rasulullah dan para Sahabat berpendapat bahwa mereka sebaiknya tetap berada di madinah. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat Mayoritas dalam perkara ini adalah pendapat yang diunggulkan dan bersifat mengikat.
Beberapa orang mungkin sulit membedakan aktivitas yang membutuhkan pemahaman dan pengkajian para ahli dengan aktivitas yang tidak memelurkannya. Namun, jika dalil-dalil kedua aktivitas itu dicermati dengan baik maka perbedaan kedua aktivitas tersebut akan jelas. Kepada Hubab bin Mundzir dalam perang Badar Rasul saw. bersabda, “ ini adalah masalah pendapat, perang dan siasat.” Artinya, Aktivitas berkemah di tempat itu berkaitan dengan perkara-perkara yang semestinya dirujuk kepada para ahli, yaitu masalah militer yang memerlukan pemikiran dan pengkajian dan bagian dari siasat untuk mengalahkan musuh yang membutuhkan analisis. Adapaun para perang Uhud Rasulullah saw. bersabda kepada Kaum Muslim, “ Apabila Kalian berpendapat bahwa sebaiknya kita tetap di Madinah dan membiarkan mereka berkemah, lalu jika mereka berkemah, mereka akan berada pada posisi yang buruk. Jika mereka berusaha masuk kota, kita dapat melawan mereka disini.”
Atas tawaran Rasulullah tersebut sebagian Kaum Muslim berkatas, “ Ya Rasulullah, pimpinlah kami menyerang musuh. Kalau tidak, mereka menganggap kita pengecut dan terlalu lemah untuk melawan mereka.”
Atas jawaban ini, Abdullah bin Ubay bn Salul berkata, “Ya Rasulullah tetaplah di Madinah. Janganlah keluar melawan mereka. Demi Allah, kami pernah tidak keluar (kota Madinah) melawan musuh kecuali hanya mendapatkan bencana dan tidak seorang pun yang menyerang masuk kota tanpa menderita kekalahan. Jadi, biarkan musuh di sana. Apabilah mereka tetap tinggal disana, mereka akan berada dalam kesulitas. Jika mereka berusaha masuk kota, Kaum laki-laki akan melawan mereka dan kaum wanita serta anak-anak akan melempari mereka dari atas mereka. Jika mereka mundur, mereka mundur, mereka mundur dengan putus asa sebagaimana mereka datang.”
Dengan demikian, masalahnya adalah antara tetap tinggal atau keluar dari kota, bukan menetukan tempat peperangan. Dengan kata lain, masalahnya bukan tentang apakah mereka harus menyiapkan serangan di dalam kota dan menyerang musuh dari sana atau mereka harus menyiakan serangan di bukit Uhud. Masalahnya adalah bahwa musuh telah datang kepada mereka, kemudian apakah mereka akan keluar melawan mereka, atau tetap tinggal di dalam kota dan jika musuh mencoba masuk, mereka akan melawannya, sementara jika musuh tidak menyerang, mereka akan membiarkannya. Dengan demikian, terdapat perbedaan yang nyata antara kedua kejadian itu dan aktivitas Rasulullah dalam menyikapinya. Perbedaan kedua kejadian tersebut terletak pada penentuan keputusannya yaitu: antara bertindak berdasarkan pendapat yang paling tepat dan paling baik dengan aktivitas yang diambil berdasarkan pendapat mayoritas. Dengan kata lain, terdapat perbedaan antara aktivitas yang memerlukan pemahaman dan pengkajian dan aktivitas yang tidak membutuhkan. Pada sisi lain, aktivitas yang pokok masalahnya sangat penting dan bersifat kritis akan selalu memerlukan pemikiran dan pengkajian, berbeda sifatnya dengan aktivitas yang kritis, atau telah diketahui secara umum. Inilah perbedaan antara kedua aktivitas tersebut; walaupun membutuhkan kajian yang mendalam, jelas bahwa perbedaan itu ada dan dapat dipahami.
Oleh karena itu, pendapat mayoritas dalam islam hanya dapat diambil jika pendapat tersebut berkaitan dengan aktivitas-aktivitas yang tidak memelurkan pemikiran dan pengkajian para ahli. Adapun aktivitas-aktivitas pada situsi lainnya tidak dapat diserahkan pada pendapat mayoritas. Hal ini didukung oleh hadis Rasulullah saw. yang meriwayatkan bahwa beliau pernah berkata kepada Abu Bakar dan Umar (yang artinya): Jika kalian berdua bersepakat dalam suatu musyawarah maka aku tidak akan menentangnya. (HR. Ahmad).
Hadis ini memberikan bukti bahwa pendapat mayoritas dapat diunggulkan. Namun demikian, Rasulullah membatasi kesepakatan itu dengan suatu pernyataan:fi masyurah (dalam musyawarah). Jika kalimat Rasulullah saw., “ma khalaftukuma (aku tidak akan menentangnya)” dibandingkan dengan penentangan Beliau terhadap Abu Bakar dan Umar saat Perjajian Hudaibiyah atau ketika Beliau memilih pendapat Hubab bin Mundzir daripada pendapat kaum Muslim dalam perang Badar, maka jelas bahwa kata fi masyurah (dalam musyawarah) merupakan pengikat (qayyid) untuk tidak menentang keduanya. Jadi, sikap tidak menetang tersebut berkaitan dengan masalah-masalah hasil musyawarah, yang sangat berbeda dengan wahyu dari Allah SWT atau dengan masalah “pendapat, perang dan siasat”. Dengan demikian hadis tersebut menunjukkan bahwa keputusan berdasarkan pendapat mayoritas dapat diunggulkan dan mengikat dalam perkara-perkara selain hukum-hukum syariah dan selain masalah pendapat, perang dan siasat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa demokrasi bertentangan dengan islam.
f. Pada beberapa Negara yang menganut sistem deokrasi, sejumlah individu mempunyai kekebalan yang melindunginya dari undang-undang. Dengan kekebalan yang mereka miliki, undang-undang tidak dapat menyentuh mereka. Contohnya adalah kekebalan yang dimiliki oleh para kepala Negara dan anggota parlemen. Jika kepala Negara melanggar hukum, ia tidak akan diukum atau tunduk pada undang-undang karena ia memiliki kekebalan tersebut. Begitu pula para anggota parlemen; jika mereka melakukan tindak kriminal ketika melakukan tugas-tugas keparlemenan, mereka tidak dihukum dan ditindak sesuai undang-undang yang berlaku selama kekebalan tersebut belum dicabut. Hal ini berttentangan dengan Islam. Dalam Islam tidak ada seorang pun warga Daulah Islam yang memiliki kekebalan di depan hukum. Kepala Negara sama kedudukannya dengan warga Negara biasa. Jika ia melanggar maka ia akan dihukum dan ditindak sesuai dengan Undang-undang yang berlaku (Syariah Islam). Aturan yang sama juga diberlakukan kepada para anggota Majelis Syura; setiap anggotanya berkedudukan sama dengan masyarakat biasa lainnya. Jika seseorang melakukan kejahatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kedudukannya di pemerintahan, atau tidak ada hubungannya dengan masalah-masalah pemerintah maka orang itu akan diajukan ke Pengadilan Mazhalim (Mahkamah Mazhalim). Kekebalan dalam Islam hanya diberikan kepada para utusan dari Negara-negara lain yang datang membawa misi-misi diplomatic. Hanya merekalah yang mempunyai kekebalan, yaitu kekebalna diplomatik; selain mereka tidak ada seorang pun yang mempunyai kekebalan tersebut.
Kebebasan Umum Dalam Sistem Demokrasi Bertentangan Dengan Islam
g. dalam sistem demokrasi, dikenal apa yang disebut dengan kebebebasna umum yang terdiri antara lain dari: kebebasan berprilaku; kebebasan berpemilikan; kebebasan beragama; dan kebebasan menyatakan pendapat. Jadi, setiap orang melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Bagi mereka, tidak ada hukuman bagi pelaku perzinaan, bahkan tidak boleh ada hukuman bagi perbuatan tersebut, karena hukuman itu dianggap sebagai pelanggaran terhadap kebebasan pribadi. Selain itu, mereka boleh berupaya mendapatkan sesuatu dengan segala cara. Mereka boleh mengumpulkan kekayaan dengan cara berjudi, menipu dan menimbun. Mereka juga boleh menganut akidah apapun dan menyatakan pendapat apa saja sesuai dengan keinginannya. Semua ini bertentangan dengan Islam. Alasannya, karena dalam Islam tidak dikenal kebebasan mutlak, dalam arti kebebasan tanpa kepatuhan dalam melakukan setiap perbuatan. Islam membatasi perbuatan Kaum Muslim dengan kewajiban mereka untuk taat pada hukum-hukum syariah. Setiap perbuatan kaum Muslim harus diselaraskan denga hukum Syariah. Kebebasan umum tidak dikenl dalam kehidupan kaum Muslim. Tidak ada kebebasana pribadi dalam Islam. Karena itu, laki-laki dan wanita yang berzina akan dihukum cambuk (yang belum menikah). Bahkan suami atau istri yang berzina akan mendapatkan hukuman rajam ( sudah menikah). Islam juga tidak mengenal kebebasan kepemilikan. Karena itu, tidak boleh mengumpulkan harta kekayaan melalui judi atau usaha-usaha lain yang tidak sesuai dengan hukum syariah. Harta kekayaan yang diperoleh melalui usaha-usaha yang tidak sesuai dengan hukum syariah, haram untuk dimiliki, seperti riba. Seseorang juga tidak boleh mengumpulkan kekayaan dengan cara menipu atau berbuat curang dalam perdangan serta melakukan monopoli. Selain itu, dalam Islam tidak dikenal kebebasan beragama. Seorang Muslim yang mengganti agamanya (murtad) akan mendapat hukuman mati jika tidak bertobat. Dalam hal kebebasan berpendapat, Islam memperbolehkan kaum Muslim menyatakan pendapatnya selama tidak mendatangkan dosa. Bahkan Islam mewajibkan setiap muslim menyampaikan kebenaran dimana pun dan kapan pun. Dalam hadis Ubaidah bin Shamit, ketika kaum Anshar memberikan baiatnya kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda (yang artinya): Bahwa kami akan menyampaikan kebenaran dimana pun kami berada; kami tidak takut terhadap celaan siapapun di jalan Allah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Islam juga memerintahkan kita untuk menentang penguasa zalim dengan pendapat kita dan mengoreksi tindakan keliru mereka.
Rasul saw. bersabda (yang artinya): Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa, lalu ia memberikan nasihat kepadanya, namun kemudian penguasa itu membunuhnya. (HR. Al-Hakim)
Ini tidak dianggap sebagai kebebasan menyatakan pendapat, namun kepatuhan pada hukum-hukum syariah. Dalam beberapa hal, menyatakan pendapat merupakan perkara yang mubah, sementara dalam beberapa kasus lain, menyatakan pendapat (kebenaran) merupakan suatu kewajiban. Dengan demikian, Islam bertentangan dengan demokrasi dalam perkara yang disebut sebagai kebebasan umum, karena dalam Islam tidak kenal kebebasan, kecuali kebebasan dalam hal memerdekakan budak.
Dari hanya ketujuh hal di atas, telah nyata perbedaan antara Islam dan Demokrasi. Telah jelas pula bahwa sistem demokrasi dan hukum-hukum Islam merupakan dua hal yang sama sekali berbeda, karena terdapat perbedaan yang nyata antara kedua hal tersebut. Perbedaan keduanya sangat menyolok. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi sama sekali lain dengan Islam.
Dari yang telah dijelaskan dalam bab ini, terlihat dengan jelas bahwa pemahaman yang menyatakan, “Segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan Islam dan tidak dilarang oleh dalil-dalil- tekstual adalah perkara-pera\kara yang dapat diambil sebagai hukum,” merupakan pemahaman yang salah. Melalui pengkajian yang teliti terhadap dalil-dalil syariah juga telah jelas bahwa pengambilan hukum selain dari yang dibawa oleh syariah merupakan pemahaman yang salah. Melalui pengkajian yang teliti terhadap dalil-dalil syariah juga telah jelas bahwa pengambilan hukum selain dari yang dibawa oleh syariah meupakan pengambilan hukum kufur, karena sama artinya dengan mengambil sesuatu selain dari yang diturunkan Allah AWT. Apalagi Allah SWT telah melarang kita untuk merujuk pada selain hukum syariah sebagaimana dalil-dalil yang telah disampaikan di muka, seperti :
Demi Tuhanmu, mereka sesungguhnya tidak beriman sampai mereka manjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara apa saja yang mereka perselisihkan. (QS. An-Nisa : 65).
Rasulullah saw. juga bersabda sebagai berikut (yang artinya): Setiap amalan yang tidak kami perintahkan adalah tertolak. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Allah SWT dengan jelas melarang kaum Muslim mengambil hukum selain dari yang telah Dia turunkan, sebagaimana firman-Nya kepada Rasulullah saw :
Hendaklah kaum memustuskan perkara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan. (QS. Al-Maidah: 49).
Ayat di atas dilanjutkan dengan ayat berikut:
Berhati-hatilah kamu dari mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian yang telah Allah turunkan kepadamu. (QS. Al-Maidah:49).
Allah SWT tidak berhenti sampai disini, namun melanjutkannya dengan mencela orang-orang yang berhukum dengan hukum-hukum selain yang telah Allah turunkan. Allah SWT berfirman:
Siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang telah Allah turunkan adalah kafir. (QS. Al-Maidah: 44).
Pada ayat lain, Allah SWT berfirman:
Siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang telah Allah turunkan adalah zalim. (QS. Al-Maidah: 45).
Pada ayat yang lain lagi Allah SWT berfirman:
Siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang telah Allah turunkan adalah fasik. (QS. Al-Maidah: 47)
Ayat-ayat ini sangat menekankan kewajiban untuk mematuhi apa yang telah diturunkan Allah SWT, membatasi pengambilan hukum hanya dari hukum-hukum-Nya dan melarang secara mutlak untuk mengambil hukum-hukum lain selain dari-Nya. Dengan demikian, mengadopsi undang-undang Barat dan hukum-hukum demokrasi bukan hanya sekadar kesalahan, namun sama saja dengan mengambil hukum-hukum kufur yang telah Allah haramkan, sekalipun hukum-hukum tersebut sesuai bahkan tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariah. Oleh karena itu mengambil hukum yang identik dengan hukum syariah tetap diharamkan, mengingat bahwa hukum tersebut tidak diambil dari syariah. Demikian pula penerapan undang-undang barat pada kaum muslim saat ini sama saja artinya dengan penerapan hukum-hukum kufur atas mereka, tanpa memandang apakah hukum tersebut sesuai atau bertentangan dengan syariah. Jika seorang Muslim menyewa seorang pekerja atau mengontrak rumah atau mobil dan melaksanakan perjanjian sewa-menyewa itu dengan undang-undang Barat, maka hal ini sama artinya dengan menerapkan hukum kufur, yang diharamkan Islam. Sebaliknya, jika ia melaksanakan perjajian sewa-menyewa sesuai dengan hukum syariah maka transaksi tersebut merupakan transaksi yang halal, baik perjajian tersebut sesuai atau tidak dengan undang-undang yang berlaku di negeri ini.